Studi ini memfokuskan pada Indonesia dan Malaysia mengenai pencucian uang khususnya pertanggungjawaban follow up crime. Secara garis besar Indonesia dan Malaysia menganut dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Indonesia menganut sistem hukum civil law dan Malaysia menganut sistem hukum common law. Pengaturan dan pertanggungjawaban pidana follow up crime di Indonesia diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 (1&2), Pasal 6 sampai Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sedangkan Malaysia diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,b,c, d dan (2) huruf a, dan b Malaysia Anti Money Laundering Act and Financial Terrrorism Act, 2001. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menelaah hukum positif TPPU yang diatur di kedua negara tersebut. Temuan penting dalam penelitian ini adalah mengetahui persamaan, perbedaan, terkait pengaturan dan pertanggungjawaban pidana pada follow up crime di Indonesia dan Malaysia. Terlebih pada pertanggungjawaban pidana follow up crime dalam frasa “patut diduga” yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 menimbulkan ketidakadilan untuk bagi pelaku tindak pidana lanjutan. Sedangkan dalam frasa “orang tersebut patut mengetahui” pada AMLAFTA berlaku jelas dan membenturkan teori kesalahan dolus pada penerapannya. Maka dari itu, kesamaran dan kekeliruan frasa pengaturan dan pertanggungjawaban pidana follow up crime dalam UU No. 8 Tahun 2010 tersebut akan berimplikasi pada ketidakadilan hukum. Seharusnya dalam konteks follow up crime, kesalahan yang disengaja menjadi dasar untuk pertanggungjawaban pidana bukan kesalahan yang tidak disengaja.